Rabu, 08 Juli 2009

KATETERISASI

MANAJEMEN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN
KATETERISASI KANDUNG KEMIH DAN DRAIN SUPRAPUBIK

PENANGANAN RETENSI URINE
Adalah hal penting bagi perawat untuk membedakan retensi dari oliguri dan anuri. Pada retensi urine, ginjal memproduksi jumlah urine normal tetapi tidak bisa dikeluarkan dari kandung kemih. Kandung kemih menjadi penuh dan membesar melebihi batas simpisis pubis. Perkusi terhadap kandung kemih akan menghasilkan suara “dull”. Pasien akan merasa sangat tidak nyaman dan ingin segera berkemih. Intervensi keperawatan dapat dilakukan untuk mengatasi retensi tersebut. Jaga privacy, berikan tempat tidur yang hangat, dan posisikan pasien pada posisi normal atau berdiri, gunakan prinsip gravitasi dan peningkatan tekanan intraabdominal untuk mengatasi problem tersebut. Buat suasana yang dapat memberikan suggesti pada pasien untuk berkemih misalnya dengan memperdengarkan suara air mengalir baik secara langsung ataupun dengan menggunakan tape recorder. Berendam air hangat atau kompres hangat pada perut dapat merelaksasikan otot-otot berkemih. Dilatasi anal dengan jari telunjuk kadang dapat merangsang mikturisi. Jika pasien merasa tegang dan cemas, gunakan tehnik distraksi.

TUJUAN KATETERISASI
Jika tindakan-tindakan tersebut tidak berhasil maka dilaksanakan kateterisasi. Kateter ini bisa dipasang dalam jangka waktu lama maupun singkat. Jika digunakan dalam jangka waktu lama maka akan dilengkapi dengan urine bag. Adapun tujuan dari drainase urine dengan kateter adalah sbb :
1. Meringankan sementara obstruksi anatomis atau fisiologis
2. Memberikan kesempatan penyembuhan dari berbagai bagian dari sistem urinaria setelah bedah
3. Memungkinkan pengukuran output urine pada pasien gawat
4. Menolong ketidak mampuan berkemih
5. Dapat berkemih dengan lancar
6. Dapat mencegah retensi urine pada orang tertentu dengan gangguan fungsi kandung kemih neurogenik
7. Memungkinkan dilakukannya irigasi yang bisa mencegah obstruksi saluran kemih

TIPE-TIPE KATETER
Mengembalikan kelancaran aliran kemih adalah merupakan tujuan yang segera harus terpenuhi. Tipe kateter yang dipakai ada beberapa jenis antara lain :
1. Robinson – kateter intermitten dan mudah memasukkannya
2. Caude – prostat hipertrofi (mencegah trauma pada kelenjar prostat)
3. Cateter folley – untuk pemasangan kateter dalam jangka waktu lama
4. Cateter whistle-tip – filiformis untuk striktur uretra.

Gambar :





Kateter folley paling banyak dipakai karena mudah dipasang untuk jangka waktu lama guna drainase terus menerus. Kateter ini berlumen dua yang dilengkapi balon pada ujung distal. Balon dikembangkan dengan NaCl atau Aqua steril setelah masuk sampai ke kandung kemih. Pemasangan dauer (kateter yang dipasang terus menerus) harus betul-betul erat guna mencegah terlepasnya kateter. Mengeratkan yang baik dapat mencegah tarikan yang tidak sengaja sehingga terjadi cedera pada kandung kemih atau uretra. Juga untuk mencegah kateter keluar masuk uretra yang memungkinkan infeksi dan iritasi.

Kantong urine yang dipakai ada dua jenis yaitu yang dipasang di tempat tidur dan yang dipasang pada kaki. Pada urine bag yang dipasang pada kaki, jangan difiksasi terlalu erat karena akan menimbulkan iritasi pada kulit. Sebelum pemasangan, harus dikaji apakah pasien mempunyai alergi terhadap lateks.

PENGELOLAAN KATETERISASI
Karena kateter merupakan benda asing yang masuk ke dalam tubuh maka kemungkinan infeksi harus dihindari. Penyebab infeksi pada saluran kemih umumnya adalah kuman E Coli, Proteus, Klibsiella, Aerobacter, Pseudomonas Aeruginosa, Streptococcus, Staphylococcus, Providencia, dan Serratia Marcescens. Mikroorganisme ini bisa masuk kedalam sistem drainase urine jika sistem ini terbuka oleh berbagai sebab.

Untuk itu perlu dipahami prinsip-prinsip dalam pengelolaan sistem drainase sbb :
Kegiatan Rasional
Jangan melepaskan sambungan kateter, kecuali bila akan dibilas Mencegah masuknya bakteri
Mengambil urine untuk pemeriksaan ditusuk dengan jarum suntik, pipa yang akan ditusuk bersihkan dulu dengan alkohol atau providone-iodine Mempertahankan bagian yang tertutup dan mencegah masuknya kuman
Jangan sekali-kali meninggikan kantong penampung urine lebih tinggi dari rongga yang sedang di darinase, eratkan kantong kepada rangka tempat tidur bila pasien tidur terlentang dan pada daerah di bawah dengkul bila pasien ambulasi Mencegah urine dari kantong msuk kembali ke kandung kemih, tersedia juga kantong yang dilengkapi katup agar urine tidak bisa kembali
Kantong penampung tidak boleh diletakkan di atas lantai Mencegah kontaminasi terhadap sistem
Amati pipa melipat atau tidak atau bocor Penyumbatan memungkinkan terjadinya back flow aliran urine ke kandung kemih
Mengosongkan kantong penampung ke dalam takaran urine, takaran harus dibersihkan secara teratur Mencegah kontaminasi sistem drainase
Perhatikan sistem penampung apakah terdapat sedimen atau bocor Ganti bila terdapat sedimen atau bocor

Antibiotik tidak boleh diberikan untuk mencegah infeksi pada kandung kemih untuk menghindari terjadinya resistensi kuman. Yang terpenting adalah perawatan yang adekuat terhadap sistem drainase tersebut.

Trauma jaringan dapat terjadi selama pelaksanaan prosedur kateterisasi. Iritasi jaringan atau nekrosis dapat diakibatkan oleh :
1. Pemakaian kateter yang ukurannya kebesaran
2. Penekanan yang berlebihan, misalnya memfiksasi terlalu erat
3. Kurangnya pemakaian jely pada saat memasukkan kateter
4. Penggunaan kateter intermitten yang terlalu sering dapat merusak jaringan kulit

Iritasi lokal atau reaksi alergi sistemik dapat terjadi pada penggunaan kateter karet pada klien dengan riwayat allergi latex. Ini bisa terjadi bila penggunaan kateter latex dilakukan sering kali. Pada pasien ini dapat digunakan kateter yang terbuat dari bahan silikon.

PROBLEM SETELAH KATETER DILEPAS
Merupakan keadaan yang wajar bila setelah kateter dicabut, dalam beberapa jam masih terjadi tetesan urine, karena terjadi dilatasi otot sfinkter oleh kateter. Bila tetesan terus berlangsung lebih lama dari yang wajar agar segera dilaporkan kepada dokter karena gejala ini merupakan gejala kerusakan sfinkter. Stress karena inkontinen akan bertahan dalam beberapa bulan bila kateter pernah terpasang lebih dari beberapa hari.

Ketidakmampuan berkemih biasanya terjadi setelah kateter diangkat. Pada pasien harus dianjurkan banyak minum cairan guna merangsang sfinkter dan harus dikaji kembali kemungkinan terjadinya distensi. Usaha-usaha untuk memperlancar berkemih harus dilaksanakan. Orang tidak boleh lebih lama dari 8 jam tidak berkemih kecuali minum dibatasi.

Cystitis (peradangan kandung kencing) bisa terjadi setelah kateter diangkat akibat kurang sempurnanya pengosongan kandung kencing. Karena itu maka abnormalitas mengenai warna, bau, sedimen harus segera dilaporkan.

PERAWATAN KLIEN DENGAN DAUER KATETER DI RUMAH
Tidak jarang klien setelah boleh pulang ke rumah masih memakai dauer kateter untuk keperluan drainase temporer atau permanen. Idealnya kateter dan pipa penyambung untuk drainase jangan sering dicabut. Namun setiap malam pipa harus dipindahkan dari kantong di paha ke kantong di tempat tidur untuk semalaman kemudian esoknya dipindahkan lagi. Untuk mengurangi resiko kontaminasi, klien harus mencuci tangan dulu, kemudian menghapus kateter dan pipa penyambung dengan alkohol 70 % sebelum membuka dan memasangkan sambungan. Ujung yang tidak disambungkan dari kantong penampung harus ditutup dengan kasa steril yang dieratkan dengan tali karet.

Mandi dibawah pancuran atau berendam dengan kateter diperbolehkan asal tidak ada luka bedah yang belum sembuh. Plester yang mengeratkan kateter pada tempatnya hendaknya diganti setelah mandi. Tidak perlu mencabut kateter pada pria atau wanita saat melakukan hubungan seksual. Pria dapat melipatkan kateter ke penis agar bisa masuk pada waktu berhubungan. Berikan dorongan dan besarkan harapan klien untuk kembali ke kehidupan yang wajar sehingga klien menjadi lebih siap untuk merawat diri sendiri di rumahnya.

KATETERISASI INTERMITTEN
Kateterisasi intermitten biasanya dilakukan pada pengobatan disfungsi kandung kemih neurogenik sebagai keadaan sekunder dari trauma sumsum tulang belakang, defek akibat melahirkan, retensi urine, dan karena beberapa penyakit kronis. Pengosongan kandung kemih secara periodik bertujuan untuk membersihkan urine residu yang merupakan media kultur yang sangat baik untuk multiplikasi bakteri dan melestarikan suplay darah ke dinding kandung kemih disamping untuk mencegah retensi urine dan mencapai kontinen.

Pasien rawat inap dengan kateter intermitten sebagai drainase merupakan hal yang sementara dan perlu discharge planning untuk selanjutnya. Walau bagaimanapun juga, tehnik bersih sangat tepat untuk di rumah. Untuk di rumah sakit maka tehnik yang digunakan adalah tehnik steril untuk menurunkan resiko infeksi.

Kateter Fr. Robinson No.14 sering dinjurkan dipakai untuk orang dewasa. Air kemih yang didapat setiap kateterisasi harus dilaporkan untuk menjamin kesesuaian jadwal kateterisasi. Kandung kemih tidak boleh menahan lebih dari 300 ml tiap kalinya karena jumlah yang terlalu besar akan menimbulkan distensi kandung kemih dan meningkatkan resiko infeksi. Frekuensi kateterisasi ditentukan oleh jumlah residu air kemih (melebihi 200 ml berarti bahwa kateterisasi harus lebih sering). Biasanya pada orang seperti itu kateterisasi harus dilakukan tiap 4 – 6 jam sekali.

Pada beberapa keadaan, tehnik bersih (tidak steril) dianjurkan untuk di rumah. Mencuci tangan dianjurkan untuk tiap kali sebelum kateterisasi. Bersihkan daerah kemaluan, dan bersihkan kateter setelah pemakaian dengan sabun dan air kemudian disimpan di tempat yang bersih. Kateter boleh dipakai bila belum terlalu lunak maupun terlalu keras untuk dimasukkan.

Tiap individu memerlukan informasi untuk pelaksanaan prosedur secara mandiri. Pada awalnya, pasien wanita belajar melakukan kateterisasi dengan memakai bantuan cermin untuk memasukkan kateter. Wanita harus belajar memasang kateter sambil duduk pada kursi untuk BAB (commode) dan mempalpasi daerah lubang uretranya sendiri. Untuk pria boleh melakukan sambil duduk atau berdiri. Perlu diingatkan bahwa pada pria harus memakai lebih banyak pelumas untuk mencegah iritasi uretra.

Pengawasan terhadap warna, bau dan adanya sedimen pada urine perlu diajarkan pada pasien yang akan menggunakan kateter intermitten di rumah. Bila ditemukan penyimpangan agar pasien segera mengkonsultasikan dirinya ke sarana kesehatan terdekat.

PENGELOLAAN PASIEN DENGAN DRAIN SUPRAPUBIC
Kateterisasi suprapubic kadang-kadang diperlukan untuk mengatasi retensi urine, khususnya bila kateterisasi uretral sulit atau berbahaya misalnya pada pasien dengan pembesaran prostat, strictur uretra, atau pada pasien quadriplegic. Kateter suprapubic dimasukkan oleh dokter dengan anastesi lokal. General anestesi dapat digunakan jika memang diperlukan. Untuk mefasilitasi penempatan kateter, kandung kemih harus terisi cairan sebelum kateter dipasang. Jika kandung kemih tidak terisi urine, maka cairan fisiologis dimasukkan ke kandung kemih lewat kateter atau csytoscope.

Kulit suprapubic dibersihkan, kemudian dengan tehnik steril cateter dimasukkan melalui lubang kecil incisi kulit ke kandung kemih. Canula dipasang, kemudian kateter dimasukkan kedalam kanula tersebut sehingga membentuk sistem drainase tertutup. Untuk mencegah bocoran, luka incisi dijarit.

Potensial komplikasi dari drainase suprapubic ini adalah antara lain pergeseran kateter, hematuria, dan kegagalan penyembuhan luka yang menimbulkan fistula.

Klien dengan kateter suprapubic membutuhkan perawatan yang sama dengan klien dengan kateterisasi uretra. Masalah yang paling sering ditemui adalah obstruksi kateter karena terlipat atau adanya sedimen dan bekuan darah.

MASALAH PERAWATAN PADA PASIEN DENGAN KATETERISASI DAN DRAIN SUPRAPUBIK
1. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit b/d masuknya benda asing ke kulit, adanya luka, luapan urine, reaksi kulit terhadap urine.
- kaji adanya iritasi, kemerahan, gatal-gatal dan keadaan kateter
- bersihkan dengan air hangat
- jaga kebersihan kateter
2. Gangguan body image b/d adanya stoma, kehilangan kemampuan mengontrol berkemih, terpasangnya alat.
- review indikasi kateterisasi
- jawab semua pertanyaan pasien mengenai keadaannya
- anjurkan klien untuk mengungkapkan perasaannya
- catat penolakan terhadap perawatan yang diberikan
- libatkan pasien untuk merawat dirinya
- anjurkan keluarga untuk memotivasi klien
- rencanakan aktivitas yang bisa dilaksanakan klien
- motivasi klien untuk menghadapi kehidupan normal
3. Nyeri b/d disrupsi kulit/jaringan, luka incisi, ketakutan dan kecemasan.
- kaji tingkatan nyeri, lokasi, karakteristik dan intensitas
- auskultasi bowell sounds
- amati aliran urine dan karakteristiknya
- anjurkan pasien untuk menyatakan keadaannya
- anjurkan tehnik relaksasi dan distraksi
- bantu latihan ROM
- kolaborasi : analgetik
4. Resiko tinggi disfungsi seksual b/d penurunan fungsi tubuh, kesulitan ereksi, respon pasangan yang tidak adekuat.
- informasikan tentang hubungan seksual dan kaitannya dengan keadaannya
- review anatomi dan fisiologi fungsi seksual
- diskusikan tentang cara hubungan seks dan waktu yang tepat untuk itu
- anjurkan pasangan untuk mendukung klien, gunakan humor secara tepat
- terangkan bahwa keadaan sekarang tidak akan menimbulkan impotensi
5. Deficit pengetahuan tentang kondisi, prognosa dan pengobatan b/d kurangnya informasi, misinterpretasi, kurang menangkap informasi.
- evaluasi keadaan emosional pasien dan kemampuan psikisnya
- review anatomi, fisiologi dan implikasi kateterisasi, diskusikan keadaan setelah sembuh
- berikan informasi tentang cara perawatan
- demontrasikan cara perawatan
- intruksikan pasien melaksanakan latihan otot perkemihan
- anjurkan nutrisi adekuat
- diskusikan tentang asupan diet asam, hindari sodium bikarbonat dan antasid
6. Resiko tinggi infeksi b/d pertahanan tubuh yang tidak adekuat (kerusakan kulit/incisi, refluk urine ke saluran urinaria.
- catat perubahan karakteristik urine
- test pH urine dengan kertas nitrasin
- kaji kemerahan, gatal-gatal dan nyeri
- inspeksi area kateterisasi dan incisi
- monitor vital signs
- kolaborasi : antifungal powder, ascorbic acid

LATIHAN PENGEMBALIAN FUNGSI OTOT KEMIH
Ketika kateter dicabut setelah pemakaian dalam jangka waktu lama, maka sering terjadi inkontinensia urine pada pasien. Untuk mengatasi hal tersebut dapat dilakukan latihan perineum sbb :
1. Kencangkan otot perineum seperti akan mencegah berkemih. Tahan dalam hitungan 10 kemudian kendurkan.
2. Tarik nafas sambil melipat bibir pada saat mengencangkan otot perineum
3. Berjongkok seperti akan BAB, kendurkan dan kemudian kencangkan otot perineum
4. Duduk pada toilet dengan lutut direntangkan ke samping, alirkan dan hentikan berkemih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar